1.Bulgogi
Bulgogi (bahasa Korea: 불 api, dan 고기 daging)
adalah olahan daging asal Korea.
Daging yang digunakan antara lain daging sirloin atau bagian daging sapi
pilihan.Bumbu bulgogi adalah campuran kecap asin dan gula ditambah
rempah lain bergantung pada resep dan daerah di Korea. Sebelum dimakan, daun
selada digunakan untuk membungkus bulgogi bersama kimchi, bawang putih, atau bumbu penyedap lain.
Di
Jepang, makanan yang sejenis disebut Yakiniku. Dibandingkan dengan Yakiniku,
bumbu daging untuk bulgogi dibuat lebih manis. Air pada bumbu cukup banyak
sehingga daging tidak dipanggang di atas plat besi (teppan), melainkan di atas
panci datar.
2.Galbi atau Galbi-gui
Galbi atau Galbi-gui adalah masakan Korea berupa daging iga sapi
panggang yang dipotong pendek-pendek. Dalam bahasa Korea, galbi berarti iga (short ribs)
atau daging yang ada di sekitar tulang iga. Terkadang, makanan ini juga bisa
dibuat dengan memakai iga babi. Galbi bisa dibumbui
atau dimasak tanpa bumbu. Bila dibumbui, biasanya daging iga direndam di dalam
saus yang terbuat dari sari buah pir asia,
arak beras, kecap asin, bawang putih, minyak wijen, dan gula.
Saus ini bisa dibuat lebih pedas atau lebih jernih sesuai selera.
Ketika
dipanggang, daging iga biasanya diiris sepanjang tulangnya. Hal ini supaya saus
tadi bisa meresap ke dalam daging dengan lebih cepat, daging bisa matang lebih
cepat, dan daging bisa lebih mudah dikonsumsi dengan sumpit setelah matang. Di
Korea dan beberapa negara lainnya, daging iga untuk galbi yang sudah diiris
telah tersedia di pasar swalayan dan toko
daging.
Kalbi
biasanya disajikan di rumah makan yang dikenal dengan nama galbijip (rumah
galbi). Pengunjung memanggang sendiri daging galbi di atas pemanggang yang ada
di masing-masing meja. Daging ini kemudian dibungkus dengan daun selada,
daun perilla,
atau daun sayur-sayuran lainnya. Sebelum dimakan, daging yang sudah dibungkus
daun dicelupkan lebih dulu di dalam ssamjang, yakni saus yang terbuat dari
campuran pasta kacang kedelai dan cabai merah.
3.Samgyeopsal
Samgyeopsal (삼겹살; Pengucapan
Korea: [samɡjʌp̚sal])
adalah masakan Korea berupa
panggang daging perut
babi yang berlemak dan tebal. Daging biasanya tidak dibumbui,
dan dipanggang sendiri di atas pemanggang yang ada di meja rumah makan. Setelah
matang, daging dimakan setelah dicelup ke dalam saus pedas.
Arti harfiah dari samgyeopsal adalah tiga lapis daging, "tiga (sam; 삼) lapis (gyeop; 겹) daging (sal;살)," karena daging bagian perut babi terlihat seperti berlapis tiga. Ada pula daging berlapis lima yang disebut ogyeopsal (오겹살), o berarti "lima".
Arti harfiah dari samgyeopsal adalah tiga lapis daging, "tiga (sam; 삼) lapis (gyeop; 겹) daging (sal;살)," karena daging bagian perut babi terlihat seperti berlapis tiga. Ada pula daging berlapis lima yang disebut ogyeopsal (오겹살), o berarti "lima".
4.Hoe
Hoe (diucapkan [hø~hwe])
adalah istilah umum untuk berbagai makanan Korea berupa potongan terbaik
ikan segar atau daging yang tidak dimasak. Saengseon hoe (생선회,生鮮膾)
adalah irisan tipis daging ikan segar atau makanan laut lainnya (serupa
dengan sashimi). Yukhoe (육회,肉膾) adalah daging sapi mentah yang diberi bumbu
kecap asin, gochujang, minyak wijen, dan arak beras. Gan
hoe (간회,肝膾)
adalah hati sapi mentah yang dibumbui minyak
wijen dan garam. Hongeohoe (홍어회, 洪魚膾)
adalah irisan daging ikan pari yang
sebelumnya disimpan di dalam guci hingga terfermentasi.
Saus
cocol untuk saengseon hoe disebut chogochujang (초고추장)
yang dibuat dari gochujang dan cuka.
Sebelum dimakan, hoe bisa diberi wasabi atau dicocol ke saus chogochujang atau ssamjang (쌈장),
dan dibungkus dengan daun perila atau
daun selada. Sewaktu dihidangkan, hoe diletakkan
di atas piring berisi dangmyeon agar
terlihat menarik.
Di
rumah makan, ketika selesai menyantap saengseon hoe, orang sering
memesan maeuntang (sup ikan yang dibuat dari
kepala ikan dan bagian ikan yang tidak bisa dijadikan hoe) .
Tradisi
memakan daging dan ikan mentah di Semenanjung Korea diperkirakan diperkenalkan
oleh orang Cina pada awal periode Tiga Kerajaan Korea (57
SM--668 AD). Dari kitab Analek karya Kong Hu Cu asal
abad 1 SM ditulis, "Jangan makan sampai menghabiskan yang halus. Jangan
makan sampai menghabiskan potongan yang terbaik (食不厭精,膾不厭細).[1] Istilah kuai (膾)
mulanya berarti irisan ikan mentah atau irisan daging seperti daging sapi atau
daging domba. Namun sejak zaman Dinasti Qin dan Dinasti Han, istilah ini hanya berarti ikan
mentah. Setelah Buddhisme berkembang
di Korea sejak periode pertengahan Tiga Kerajaan Korea hingga akhir Dinasti Goryeo (918–1392), membunuh
hewan untuk dijadikan makanan merupakan hal yang harus dihindari. Oleh karena
itu, rakyat meninggalkan kebiasaan makan hoe bersamaan dengan tidak
lagi dikonsumsinya daging. Makanan ini kembali dihidangkan setelah memudarnya
pengaruh Buddhisme pada akhir periode Goryeo. Pada masa Dinasti Joseon, kerajaan menjunjung tinggi
ajaran Konfusianisme,
sehingga hoe kembali populer sebagai makanan orang Korea.
5.Budae
jjigae
Budae
jjigae (harafiah: sup pangkalan militer) adalah masakan Korea yang dibuat dari sup
yang dimasak dengan ham dan daging kalengan.
Masakan
ini bermula pada saat berakhirnya Perang Korea ketika rakyat kekurangan
bahan pangan. Pada saat itu rakyat yang tinggal di Uijeongbu,
provinsi Gyeonggi, memanfaatkan kelebihan bahan
makanan dari pangkalan militer Amerika Serikat yang berupa daging
kalengan dan ham. Mereka
mengkombinasikan bahan-bahan ini dengan kuah masakan Korea yang berbumbu gochujang yang pedas dan merebusnya
dalam panci besar.Lama kelamaan masakan baru yang sederhana dan mudah dibuat
ini menjadi terkenal dan sering diasosiasikan dengan kota Uijeongbu sehingga
disebut juga dengan uijeongbu jjigae.
6.Haejangguk
Haejangguk (해장국)
adalah jenis Guk. Pada zaman dahulu, haejangguk
dimakan untuk menyadarkan diri dari rasa mabuk akibat
minum sul,
sehingga dinamakan juga sulguk ("sup minuman keras").
Lama-kelamaan, haejangguk dikenal sebagai hidangan populer di malam hari.
Haejangguk tertulis dalam buku masak Dinasti Joseon tahun 1600-an dengan
nama seongjutang yang disantap guna menyadarkan orang dari mabuk.
Walau berasal dari Joseon, resep aslinya tak diketahui.
Cara
memasak berbeda-beda menurut daerah. Orang Seoul menambah doenjang, tulang
sapi, kol cina, dan darah segar.
Di Jeonju, haejangguk dimasak dengan kecambah dan kuah dari kaldu, telur,
dan jeotgal. Berbeda dengan daerah lain yang
direbus panas-panas, di Uljin,
haejangguk ditambah cumi-cumi segar
yang dipotong tipis-tipis seperti mie, dibumbui dan dimakan dengan kuah dingin
dan batu es, sehingga jadilah haejangguk dingin.
7.Kimchi
Kimchi adalah makanan tradisional Korea,
salah satu jenis asinan sayur
hasil fermentasi yang
diberi bumbu pedas. Setelah digarami dan dicuci, sayuran dicampur dengan bumbu
yang dibuat dari udang krill, kecap ikan, bawang putih, jahe dan
bubuk cabai merah.
Sayuran yang paling umum dibuat kimchi adalah sawi putih dan lobak. Di zaman dulu, kimchi diucapkan sebagai chim-chae (Hangul: 침채; Hanja: 沈菜) yang berarti "sayuran yang direndam."
Di Korea, kimchi selalu dihidangkan di waktu makan sebagai salah satu jenis banchan yang paling umum. Kimchi juga digunakan sebagai bumbu sewaktu memasak sup kimchi (kimchi jjigae), nasi goreng kimchi (kimchi bokkeumbap), dan berbagai masakan lain.
Literatur tertua yang memuat tentang kimchi adalah buku puisi Tiongkok berjudul Sikyeong (hangul:시경 hanja:詩經). Pada waktu itu, kimchi disebut "Ji" sebelum nantinya dikenal sebagai "chimchae".
Asinan berwarna hijau merupakan bentuk awal kimchi sewaktu cabai belum dikenal di Korea. Setelah dicampur dengan garam, sayuran seperti kubis dimasukkan ke dalam guci tanah liat setelah diberi garam, dan dipendam di dalam tanah sebagai persediaan makanan sewaktu sayuran segar tidak tersedia di musim dingin. Orang Korea baru mengenal cabai berkat jasa pedagang Portugis dari Jepang yang datang ke Korea pada abad ke-16.
Pedagang Portugis menyebarluaskan cabai ke seluruh dunia. Kapal-kapal Portugis berlayar melewati Tanjung Harapan di Afrika hingga sampai di India pada tahun 1498. Selanjutnya, cabai asal Amerika Selatan dibawa ke Asia melalui berbagai pelabuhan di Afrika atau langsung menyeberangi Samudra Pasifik. Pada tahun 1540, pedagang Portugis sudah berdagang di Indonesia dan cabai dibawa ke Tiongkok beberapa lama kemudian. Pedagang Portugis baru sampai di Jepang dan Korea pada tahun 1549. Filipina mendapat giliran mengenal cabai pada tahun 1564 sewaktu dilewati jalur perdagangan kapal Spanyol yang membawa cabai ke kepulauan Melanesia dan kawasan Mikronesia.
Resep asinan sayuran dan labu sudah dimuat dalam buku resep terbitan tahun 1670, tetapi tidak menggunakan cabai. Di dalam catatan sejarah abad ke-17 ditulis tentang 11 jenis kimchi, sedangkan cabai sebagai bahan kimchi mungkin baru populer bertahun-tahun kemudian (menurut perkiraan 200 tahun kemudian). Sebelum abad ke-19, kimchi hanya dibuat dari sayuran asli Korea karena sawi putih kemungkinan besar tidak dikenal di Korea sampai abad ke-19.
Sayuran yang paling umum dibuat kimchi adalah sawi putih dan lobak. Di zaman dulu, kimchi diucapkan sebagai chim-chae (Hangul: 침채; Hanja: 沈菜) yang berarti "sayuran yang direndam."
Di Korea, kimchi selalu dihidangkan di waktu makan sebagai salah satu jenis banchan yang paling umum. Kimchi juga digunakan sebagai bumbu sewaktu memasak sup kimchi (kimchi jjigae), nasi goreng kimchi (kimchi bokkeumbap), dan berbagai masakan lain.
Literatur tertua yang memuat tentang kimchi adalah buku puisi Tiongkok berjudul Sikyeong (hangul:시경 hanja:詩經). Pada waktu itu, kimchi disebut "Ji" sebelum nantinya dikenal sebagai "chimchae".
Asinan berwarna hijau merupakan bentuk awal kimchi sewaktu cabai belum dikenal di Korea. Setelah dicampur dengan garam, sayuran seperti kubis dimasukkan ke dalam guci tanah liat setelah diberi garam, dan dipendam di dalam tanah sebagai persediaan makanan sewaktu sayuran segar tidak tersedia di musim dingin. Orang Korea baru mengenal cabai berkat jasa pedagang Portugis dari Jepang yang datang ke Korea pada abad ke-16.
Pedagang Portugis menyebarluaskan cabai ke seluruh dunia. Kapal-kapal Portugis berlayar melewati Tanjung Harapan di Afrika hingga sampai di India pada tahun 1498. Selanjutnya, cabai asal Amerika Selatan dibawa ke Asia melalui berbagai pelabuhan di Afrika atau langsung menyeberangi Samudra Pasifik. Pada tahun 1540, pedagang Portugis sudah berdagang di Indonesia dan cabai dibawa ke Tiongkok beberapa lama kemudian. Pedagang Portugis baru sampai di Jepang dan Korea pada tahun 1549. Filipina mendapat giliran mengenal cabai pada tahun 1564 sewaktu dilewati jalur perdagangan kapal Spanyol yang membawa cabai ke kepulauan Melanesia dan kawasan Mikronesia.
Resep asinan sayuran dan labu sudah dimuat dalam buku resep terbitan tahun 1670, tetapi tidak menggunakan cabai. Di dalam catatan sejarah abad ke-17 ditulis tentang 11 jenis kimchi, sedangkan cabai sebagai bahan kimchi mungkin baru populer bertahun-tahun kemudian (menurut perkiraan 200 tahun kemudian). Sebelum abad ke-19, kimchi hanya dibuat dari sayuran asli Korea karena sawi putih kemungkinan besar tidak dikenal di Korea sampai abad ke-19.
8.Seolleongtang
Seolleongtang adalah
jenis masakan Korea yang
terbuat dari sup kaldu tulang
sapi yang direbus dalam waktu lama.
Pada masa Dinasti Joseon (1392-1910), pada upacara ritual Sangsin di bulan kedua kalender lunar, raja akan melakukan penghormatan bagi Shennong di Seonnongdan untuk bersyukur atas panen yang berlimpah. Pada ritual itu raja mempersembahkan beras, jewawut dan hewan kurban seperti sapi dan babi. Setelah selesai melaksanakan ritual raja biasanya akan pergi ke jeokjeon, yakni kebun istana. Di jeokjeon raja akan memerintahkan juru masak istana untuk memasak bahan-bahan tersebut, yakni daging sapi untuk membuat sup, dan daging babi untuk membuat pyeonyuk. Raja akan mengundang petani-petani tua yang berusia di atas usia 60 tahun untuk menghadiri acara makan malam. Nasi dan daging sapi disajikan dalam ttukbaegi setelah diberi bumbu berupa bawang merah dan garam. Kata seolleongtang berasal dari seonnongtang, dikarenakan aktivitas raja setelah melaksanakan ritual di kuil Seonnongdan. Lama-kelamaan pengucapannya berubah menjadi seolleongtang.
Pada saat ini, seolleongtang biasanya dimakan di restoran khusus yang menyajikan seolleongtang. Butuh waktu lama untuk memasak seolleongtang untuk mendapatkan gizi dari tulang sapi. Jika disajikan di restoran, masakan ini dapat direbus dengan lebih lama sehingga kandungan gizinya akan dihasilkan lebih maksimal.
Pada masa Dinasti Joseon (1392-1910), pada upacara ritual Sangsin di bulan kedua kalender lunar, raja akan melakukan penghormatan bagi Shennong di Seonnongdan untuk bersyukur atas panen yang berlimpah. Pada ritual itu raja mempersembahkan beras, jewawut dan hewan kurban seperti sapi dan babi. Setelah selesai melaksanakan ritual raja biasanya akan pergi ke jeokjeon, yakni kebun istana. Di jeokjeon raja akan memerintahkan juru masak istana untuk memasak bahan-bahan tersebut, yakni daging sapi untuk membuat sup, dan daging babi untuk membuat pyeonyuk. Raja akan mengundang petani-petani tua yang berusia di atas usia 60 tahun untuk menghadiri acara makan malam. Nasi dan daging sapi disajikan dalam ttukbaegi setelah diberi bumbu berupa bawang merah dan garam. Kata seolleongtang berasal dari seonnongtang, dikarenakan aktivitas raja setelah melaksanakan ritual di kuil Seonnongdan. Lama-kelamaan pengucapannya berubah menjadi seolleongtang.
Pada saat ini, seolleongtang biasanya dimakan di restoran khusus yang menyajikan seolleongtang. Butuh waktu lama untuk memasak seolleongtang untuk mendapatkan gizi dari tulang sapi. Jika disajikan di restoran, masakan ini dapat direbus dengan lebih lama sehingga kandungan gizinya akan dihasilkan lebih maksimal.
9.Kongnamul
Kongnamul,
contoh masakan Korea,
mengacu pada banchan yang
dibumbui (lauk) yang terbuat dari kecambah kedelai, serta menjadi istilah untuk
kecambah itu sendiri dalam bahasa Korea. Ini adalah salah satu banchan yang
paling umum, serta bahan dasar bibimbap.
Asal usul yang sebenarnya dari kongnamul tidak diketahui, tetapi diasumsikan bahwa telah makan sejak masa Tiga Kerajaan Korea atau awal era Goryeo. Rekaman mengenai kongnamul dapat ditemukan dalam dokumen dari era Goryeo, Hyangyak Gugeupbang (hangul: 향약구급방, hanja: 鄕藥救急方) di mana budidaya kecambah disebutkan; ketika Taejo dari Goryeo pendiri negara tersebut, tentara diselamatkan dari kelaparan dengan menumbuhkan tauge di sungai terdekat.
Pada dokumen era Joseon, Sallim gyeongje (hangul: 산림경제, hanja: 山林經濟), metode memasaknya telah disebutkan, dan pada dokumen era Joseon yang lainnya, Seonghosaseol (hangul: 성호사설, hanja: 星湖僿說) dikatakan bahwa kongnamul digunakan masyarakat miskin untuk membuat juk. Kongnamul sekali lagi disebutkan dalam Cheongjanggwanjeonseo (hangul: 청장관전서, hanja: 靑莊館全書) sebagai makanan pokok yang dikonsumsi selama masa kelaparan.
Asal usul yang sebenarnya dari kongnamul tidak diketahui, tetapi diasumsikan bahwa telah makan sejak masa Tiga Kerajaan Korea atau awal era Goryeo. Rekaman mengenai kongnamul dapat ditemukan dalam dokumen dari era Goryeo, Hyangyak Gugeupbang (hangul: 향약구급방, hanja: 鄕藥救急方) di mana budidaya kecambah disebutkan; ketika Taejo dari Goryeo pendiri negara tersebut, tentara diselamatkan dari kelaparan dengan menumbuhkan tauge di sungai terdekat.
Pada dokumen era Joseon, Sallim gyeongje (hangul: 산림경제, hanja: 山林經濟), metode memasaknya telah disebutkan, dan pada dokumen era Joseon yang lainnya, Seonghosaseol (hangul: 성호사설, hanja: 星湖僿說) dikatakan bahwa kongnamul digunakan masyarakat miskin untuk membuat juk. Kongnamul sekali lagi disebutkan dalam Cheongjanggwanjeonseo (hangul: 청장관전서, hanja: 靑莊館全書) sebagai makanan pokok yang dikonsumsi selama masa kelaparan.
10.Bibimbap
Bibimbap adalah masakan Korea berupa semangkuk nasi
putih dengan lauk di atasnya berupa sayur-sayuran,
daging sapi, telur,
dan saus pedas gochujang. Namanya
secara harafiah berarti "nasi campur" yang berasal dari kata 비빔 (campur)
dan 밥 (nasi).
Sebelum dimakan, nasi dan lauk diaduk menjadi satu.
Bibimbap
memiliki variasi yang banyak menurut daerahnya di Korea. Kota Jeonju di Jeolla Utara adalah kota asal variasi
bibimbap daerah yang paling terkenal di Korea. "Jeonju bibimbap"
(nasi campur Jeonju) merupakan bibimbap yang berisi lauk pauk yang paling banyak
di Korea.
Terdapat
beberapa teori mengenai asal usul bibimbab, salah satunya ada yang mengatakan
bahwa makanan ini dibuat dari sesaji yang dipersembahkan kepada arwah leluhur.
Sehabis melaksanakan jesa, orang-orang saling
berbagi makanan sesaji dan
mencampurkannya dalam mangkuk. Ada pula makanan sejenis yang dinamakan heotjesabap atau "makanan sehabis
jesa". Nasi campur daging sapi yang berasal dari Kota
Jinju, Provinsi Gyeongsang merupakan
bibimbap berisi nasi ditambah lauk pauk berupa sayur dan daging sapi mentah (yuk
hoe). Menurut sejarah, nasi campur ini tercipta pada masa Perang
Imjin ketika rakyat setempat harus menyiapkan masakan yang praktis pada
saat-saat genting.
Dolsot
bibimbap (돌솥 비빔밥)
merupakan bibimbap yang dihidangkan dalam mangkuk dari batu yang sudah
dipanaskan. Dolsot berarti
"mangkuk batu". Panas dari mangkuk batu akan mematangkan telur mentah
yang diletakkan di atas nasi sebagai lauk. Sebelum nasi dimasukkan,
minyak wijen dituangkan di dasar mangkuk batu
agar terbentuk lapisan kerak nasi yang harum dan garing di dasar mangkuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar